7 Tuntutan Mahasiswa yang Demo di Depan DPR


7 Tuntutan Mahasiswa yang Demo di Depan DPR



Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia akan kembali menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR/DPD. Sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, mereka membawa sejumlah aspirasi untuk diperjuangkan. Garis besar tuntutan masih seputar rancangan undang-undang yang telah ditunda pengesahannya oleh DPR.

7 tuntutan mahasiswa berkaitan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri meminta agar pengesahan ditunda sementara waktu.

Tuntutan yang lebih spesifik disampaikan dalam aksi di Gejayan. Setidaknya ada tujuh poin yang mereka dorong: 

1.            1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal      yang bermasalah dalam RKUHP.
 Pembahasan RKUHP menuai polemik lantaran beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan wartawan yang dianggap beritanya menghina presiden atau pemerintah akan dipidana. Contoh lain adalah Pasal 432 tentang penggelandangan. Di aturan tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena kategori penggelandang bisa dienterpretasikan luas. Ketentuan lain yang diprotes adalah pasal zina. Sebab, pasal ini dianggal terlalu mengatur warga negara hingga ke ranah privasi. Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP.

2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk merivisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada tujuh poin yang menjadi catatan dalam RUU KPK yang sudah diketok palu oleh anggota Dewan. Pertama, soal status kedudukan kelembagaan KPK yang akan berubah menjadi lembaga penegak hukum yang berada di rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen. Kedua, soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang punya kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali. Baca juga: Presiden Jokowi Tolak Tuntutan untuk Cabut UU KPK Keberadaan dewan pengawas ini dinilai berpotensi mengganggu penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan. Ketiga, pembatasan fungsi penyadapan karena KPK wajib meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap. Dalam aturan sebelumnya KPK berwenang sendiri melakukan penyadapan tanpa perlu meminta izin. Keempat, KPK berwenang menerbitkan SP3 untuk perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun. Baca juga: Setelah KPK Dikebiri dan Tak Sakti Lagi... Kemudian, KPK juga wajib berkoordinasi dengan penegak hukum lain dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pasal kontroversi lain ialah mengatur soal mekanisme penyitaan dan penggeledahan serta status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Namun, Jokowi memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK.

3. Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
Masalah kebakaran hutan belakangan disorot karena area titik apinya terus meluas. Kebakaran tersebar di sebagian Sumatera dan kalimantan. Kepolisian telah menetapkan puluhan tersangka pembakaran hutan dan sembilan korporasi yang bertanggung jawab. Masyarakat menuntut para pelaku diadili hingga menyasar ke aktor intelektual. Proses hukum juga harus dilakukan secara terbuka.

4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada pekerja. RUU Ketenagakerjaan juga menjadi sorotan lantaran beredar luas draf revisi UU tersebut.
Dari draf yang beredar, ada 14 pasal revisi yang ditolak oleh para asosiasi buruh. Dalam naskah yang beredar tersebut, beberapa revisi yang bakal dilakukan meliputi pasal 81 mengenai cuti haid yang bakal dihapus lantaran dengan alasan nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri. Kemudian, Pasal 100 mengenai fasilitas kesehatan yang bakal dihapuskan, juga pasal 151-155 mengenai penetapan PHK.

Dalam draf tersebut, UU Ketenagakerjaan versi revisi bakal menetapkan keputusan PHK hanya melaui buruh dan pengusaha tanpa melalui persidangan. Selain itu, ada pula revisi yang bakal menghapus pasal mengenai uang penghargaan masa kerja, juga ada penambahan waktu kerja bagi para buruh atau tenaga kerja. Namun, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membantah draf tersebut bersumber dari pemerintah. Ia mengatakan, draf yang berisi revisi UU Ketenagakerjaan tersebut hoaks dan tidak jelas sumbernya.

5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.
Poin-poin dalam RUU Pertanahan dianggap merugikan masyarakat. Pembahasannya pun molor di DPR karena masih ada pro-kontra di internal. Fraksi PKS menganggap draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan iklim investasi dibandingkan pada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria. Dalam poin-poin tersebut tidak ada upaya konkret untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah. Kemudian ada kecenderungan memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB, dan hak pakai berjangka waktu.

Selanjutnya, tidak ada upaya untuk memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, UMKM, dan masyarakat kecil lain. Dalam draf tersebut juga tidak terdapat upaya konkret untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah. Keenam, tidak ada upaya konkret untuk mempercepat pengakuan tanah hukum ada yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 35/2012. Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang ke depan akan kembali menjadi tanah negara. Terakhir, tidak ada kebijakan untuk memberantas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah. Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan bahwa RUU ini ditunda.

6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
DPR diminta segera memberi kepastian kapan RUU PKS disahkan. Pasalnya, RUU ini sudah dibahas cukup lama, terhitung sejak 2017. Desakan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Yohana Yambise. RUU PKS dianggap krusial karena perlu ada payung hukum yang kuat untuk melindungi korban kekerasan seksual. RUU ini akan memperkuat regulasi soal kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP secara umum.

RUU PKS menjadi darurat bukan karena sekadar angka kasus yang tercatat, melainkan karena layanan terhadap korban kekerasan seksual tidak memadai. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Andi Komara menyebutkan, RUU PKS mengatur jenis kekerasan seksual, seperti perbudakan seksual, eksploitasi seksual, dan pemaksaan perkawinan. Tak hanya mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, RUU PKS juga mengatur pencegahaan kekerasan seksual. RUU yang mengacu pada pengalaman para korban kekerasan seksual tersebut juga mengutamakan hak-hak terhadap korban yang selama ini kerap diabaikan.

7. Mendorong demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Penangkapan aktivis juga menjadi perhatian selanjutnya oleh mahasiswa. Mereka tak ingin aktivis yang mewakili masyarakat ditangkap karena menyuarakan protes hanya karena tak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Contoh terbaru ialah penangkapan aktivis Veronica Koman yang menjadi buronan polisi setelah ditetapkan tersangka. Veronica Koman dianggap memprovokasi aksi demo di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Pengacara mahasiswa Papua itu disebut sangat aktif melakukan provokasi di media sosial tentang isu-isu Papua, padahal ia sendiri tidak ada di lokasi saat aksi berlangsung. (sumber: kompas.com)


Revisi UU KPK telah disahkan DPR. Sedangkan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan semula akan disahkan pada Selasa. Namun, DPR RI memutuskan menunda pengesahan dua RUU itu setelah ada usulan dari Presiden Joko Widodo.

Pada Senin kemarin, Jokowi meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Namun, Jokowi mengaku belum berencana menerbitkan Perppu KPK (pengganti UU KPK yang baru), walaupun hal itu menjadi tuntutan mahasiswa di banyak kota. Ribuan mahasiswa terlihat sempat bertahan di depan Gedung DPR serta menuntut pimpinan dewan menemui mereka pada Selasa sore. Namun, kericuhan kemudian mulai terjadi saat polisi menyemprotkan water cannon dan menembakkan gas sir mata. Bentrok mahasiswa vs polisi pun pecah dan berlangsung sampai Selasa malam.

Ketua DPR Bambang Soesatyo juga menyatakan tuntutan mahasiswa sudah terpenuhi karena pengesahan sejumlah RUU sudah ditunda. Namun mahasiswa tidak puas.

"Kita menolak pengesahan berbagai RUU itu, bukan menunda. Kita tunggu kepastiannya," kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Dinno Ardiansyah, kepada wartawan, Rabu (25/9/2019). (sumber: detik.com) 

Ada dua poin utama tuntutan mahasiswa demonstran dari berbagai universitas ini. Dino menjelaskan, pertama, menolak DPR menghasilkan produk undang-undang sampai selesai periode, khususnya yang bermasalah. Kedua, menolak UU KPK bagaimanapun caranya. (sumber: detik.com)

RUU yang ditolak adalah RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan. Istilah 'penundaan' dikhawatirkan mahasiswa mengandung ketidakpastian, yakni DPR bisa mengesahkannya di ujung periode sebelum berakhir pada Oktober nanti. Maka mahasiswa mengawal melalui demonstrasi supaya RUU-RUU itu tak disahkan.

"Karena kalimat yang ada yakni menunda, menunda pengesahan RUU. Menunda di sini multitafsir apakah sampai periode selanjutnya ataukah sampai hari ini saja, misalnya dua hari lagi disahkan. Jadi kita tetap mengawal. Kalaupun memang sudah ada statement 'tidak dibahas di periode ini', baru kita selesai," kata Dinno. (sumber: detik.com)

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, DPR sudah memenuhi tuntutan mahasiswa dengan menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan. Oleh karena itu, ia meminta mahasiswa pulang ke rumah masing-masing. "Saya minta teman-teman mahasiswa sebaiknya sudah cukup menyampaian aspirasi yang disampaikan kepada kami, kembali ke rumah masing-masing karena kami sudah memenuhi tuntutan atau aspirasi yang disampaikan oleh adik-adik mahasiswa, yaitu menunda KUHP, menunda RUU Pemasyarakatan sebagaimana yang disampaikan kepada kami di DPR," kata Bambang saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). (sumber: kompas.com)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga menyampaikan hal sama. Menurut dia, beberapa RUU sudah dinyatakan ditunda pengesahannya oleh DPR, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan (PAS). Wiranto menilai bahwa aksi demonstrasi dinilai sudah tidak lagi relevan. "Dengan adanya penundaan itu yang didasarkan oleh kebijakan pemerintah untuk lebih mendengarkan suara rakyat, sebenarnya demonstrasi-demonstrasi yang menjurus kepada penolakan Undang-Undang Pemasyarakatan, RKUHP, Ketenagakerjaan, itu sudah enggak relevan lagi, enggak penting lagi," kata Wiranto.

Benarkah klaim pemerintah dan DPR itu? Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah menegaskan masih ada tuntutan demonstran yang belum disetujui. Salah satunya agar Presiden Joko Widodo mencabut revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah direvisi. Caranya adalah melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Namun, terkait tuntutan ini, Presiden Jokowi bahkan sudah secara tegas menyatakan tak akan menerbitkan Perppu KPK. "Kami menyayangkan sikap Presiden yang masih kukuh dengan persetujuan awalnya menyetujui revisi UU KPK. Artinya dengan tidak mengeluarkan perppu, berarti tetap setuju dengan UU KPK hasil revisi," kata Dinno. Dinno menilai UU KPK hasil revisi mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja KPK.

Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi. Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK. Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks. "UU KPK ini jelas sangat melemahkan KPK. Kita sangat menyayangkan sikap presiden, tidak mau menerbitkan perppu. Artinya Presiden tak punya komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia," kata dia. Bergeming Sampai kemarin, Presiden Jokowi masih bergeming soal tuntutan mahasiswa untuk mencabut UU KPK. Pada Selasa siang, Jokowi sempat menerima perwakilan demonstran di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Namun, kelompok yang diterima adalah perwakilan petani, bukan mahasiswa. Tuntutan yang disampaikan para petani juga berkisar seputar reformasi agraria, bukan pencabutan revisi UU KPK. Pertemuan itu juga berlangsung tertutup. Media hanya menerima keterangan dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Selain menerima petani, tak diketahui kegiatan lain Presiden seharian kemarin karena agenda yang bersifat internal alias tak untuk diliput.

Jokowi meminta pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan tak dilakukan oleh DPR periode ini yang masa jabatannya hanya sampai 30 September. "Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat," kata Jokowi. Namun, di sisi lain Jokowi menolak memenuhi tuntutan untuk mencabut UU KPK lewat perppu. "Enggak ada (penerbitan Perppu KPK)," ujar dia. Saat ditanya apa yang membuat Jokowi berbeda sikap antara RUU KPK dan RUU lainnya, Jokowi hanya menjawab singkat. "Yang satu itu (KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah," ujarnya. (sumber: kompas.com)

UU KPK yang telah disahkan olehDPR bersama pemerintah cenderung bermasalah dan kontroversial. Menilai sejumlah pasal dalam UU tersebut cenderung melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan memangkas kewenangan KPK.

Nyatanya bukan penuntasan agenda reformasi, malah kemunduran yang terjadi pada akhir-akhir ini. Dalam tuntutan mahasiswa ini menolak sejumlah RUU yang memuat pasal-pasal bermasalah dan kontroversial. DPR terkesan kejar tayang juga dalam mengesahkan  beberapa RUU lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar